Sejarah Perang Padri : Perjuangan Tuanku Imam Bonjol
08 Juli 2020
Tambah Komentar
LENTERA-ILMIAH - Perang Padri meletus di negeri Kerajaan Pagaruyung sekitar tahun 1803-1837. Perang Padri dimulai dengan adanya gerakan Padri atau kaum Padri (ulama) yang menentang perbuatan-perbuatan amoral yang marak di kalangan masyarakat negeri-negeri Kerajaan Pagaruyung, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau, sirih, serta aspek hukm adat matriarkat mengenai warisan dan pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam.
Gejolak tersebut memicu perpecahan antara kaum Padri yang dipipmpin oleh Harimau nan Salapan (Delapan Pemimpin) dengan kaum Adat di bawah pimpinan Raja Pagaruyung, Sultan Muning Alamsyah. Kemudian, gejolak itu meluas dengan melibatkan Belanda. Dari sanalah, Imam Bonjol muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku nan Renceh sebagai Imam di daerah Bonjol. Selanjutnya, ia ditunjuk sebagai Panglima Perang Padri setelah Tuanku nan Renceh meninggal dunia.
Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat, pada tahun 1772 dan wafat dalam pengasingan, lalu dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa pada 6 November 1864. Ia termasuk salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda, Perang itu dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1837.
Imam Bonjol bukanlah seorang Minahasa. Ia berasal dari Sumatra Barat. Ia disebut juga Tuanku Imam Bonjol. Gelar ini adalah sebuah gelar yang diberikan kepada guru-guru agama di Sumatra. Nama asli Imam Bonjol adalah Peto Syarif ibnu Panditu Bayanuddin.
Imam Bonjol adalah pemimpin yang paling terkenal dalam gerakan dakwah di Sumatra, yang pada mulanya menentang perjudian, laga ayam, minuman keras dan tembakau, tetapi kemudian mengadakan penentangan terhadap penjajahan Belanda yang memiliki semboyan “Glod, Glory dan Gospel sehinggga mengakibatkan Perang Padri (pada tahun 1821-1837).
Mula-mula, Imam Bonjol belajar agama dari ayahnya, Buya Nudin. Kemudian, ia juga belajar agama dari beberapa orang ulama lainnya, seperti Tuanku Nan Renceh. Imam Bonjol, yang ketika itu bertindak sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa dan Tuanku Imam.
Tuanku Nan Renceh dari kamang adalah adalah salah satu pemimpin dari Harimau nan Salapan, yang menunjuknya sebagai imam (pemimpin) bagu kaum Padri di Bonjol. Akhirnya, imam bonjol lebih dikenal sebutan Tuanku Imam bonjol.
Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, pada 6 November 1973.
Perang Padri (1821-1837)
Pada awal abad ke-19 banyak orang Minangkabau yang pulang dari Mekah. Di negeri Arab sedang terjadi Wahabiah yang menghendaki terbinanya masyarakat Islam yang taat melaksanakan perintah agama dan taat pula menjauhi larangannya, seperti main judi dan meminum-minuman keras. Umat Islam di Minangkabau yang ingin mengadakan pembaharuan termasuk menghapuskan judi, sabung ayam dan minuman keras diseut Kaum Padri, sedangkan mereka yang tetap ingin mempertahankan cara hidup tradisional disebut Kaum Adat.
Dikalangan Kaum Padri terdapat golongan yang tidak menyukai kekerasan dalam mengembangkan ajarannya, misalnya Tuanku Nan Tuo. Akan tetapi, sebagian besar kaum Padri tidak segan-segan menempuh jalan kekerasan. Agak sulit untuk menentukan dengan pasti kapan Perang Padri mulai pecah. Perang itu merupakan puncak dari meningkatnya sengketa secara sedikit demi sedikit seperti api dalam sekam, antara Kaum Padri dan kaum Adat. Kemudian, berlanjut antara rakyat Minangkabau melawan Belanda.
Pertempuran pertama terjadi di Kota Lawas, kemudian menjalar ke daerah lain. Di Alahan Panjang. Kaum Padri di bawah pimpinan Datuk Bundaro bertempur melawan Kaum Adat yang dipimpin oleh Datuk Sati. Setelah Datuk Bundaro meninggal dunia, pimpinan dipegang oleh Tuanku Imam Bonjol yang berkedudukan di Bonjol. Bonjol menjadi pusat pertahanan Kaum Padri. Di sana terdapat benteng yang terletak pada suatu perbukitan. Pemimpin-pemimpin Kaum Padri yang terkenal adalah Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Tambusai dan Tuanku Nan Cerdik.
Sesudah orang Belanda berkuasa di Padang, terjadilah persekutuan dengan Kaum Adat untuk menghadapi Kaum Padri. Pada tahun 1821 pos Belanda di Semawang diserbu oleh pasukan Padri. Di sekitar Lintau mereka sering mengacaukan kedudukan Belanda. Sebaliknya, pasukan Belanda berusaha menangkap pemimpin-pemimpin Kaum Padri. Untuk menguasai medan perang, mereka mendirikan benteng di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capelen dan Fort de Kock di Bukit tinggi. Berkali-kali pasukan Belanda menyerang kedudukan pasukan Padri di Lintau, tetapi selalu gagal.
Di daerah sekitar Baso, pada tahun 1822 juga terjadi pertempuran antara pasukan Belanda melawan pasukan Tuanku Nan Renceh. Karena persenjataan pasukan Padri tidak sebanding dengan pasukan belanda, mereka terpaksa melakukan perang gerilya. Pertempuran berkobar juga di daerah Bonio dan pada tahun 1823 di daerah Agam. Banyak korban jatuh sebelum pasukan Belanda berhasil merebut pertahanan Kaum Padri. Meskipun dalam banyak pertempuran pasukan Belanda memperoleh kemenangan, mereka tidak berhasil menghancurkan tentara Padri. Oleh karena itu, pada tahun 1823, residen Belanda Da Puy mengajak Kaum Padri berunding. Pada tahun 1824 perundingan terjadi, tetapi tidak semua pemimpin Padri mendukung perundingan ini. Pemimpin Padri di kota Lawas tidak mau berdamai dan tetap melawan Belanda. Sesudah residen Belanda itu meninggal dunia pada tahun yang sama, permusuhan berkobar kmbali, antara lain di Suroaso.
Sementara itu, pada tahun 1825 di Jawa pecah Perang Diponegoro sehingga beban kolonial Belanda semakin berat. Oleh Karena itu, Belanda berusaha mengadakan gencatan senjata di Minangkabau. Pada tahun 1825 Belanda mengadakan persetujuan dengan Kaum Padri. Belanda mengakui beberapa sebagai wilayah Kaum Padri. Setelah pasukan Belanda banyak yang ditarik ke Jawa, Beland harus berhati-hati agar tidak diserang oleh Kaum Padri.
Ketika Perang Diponegoro hampir selesai, pesah lagi pertempuran di daerah Pariaman. Sementara itu, Kaum Adat mulai tidak senang karena Belanda bersikap menindas. Pemerintah Belanda menyuruh rakyat bekerja rodi membuat jalan, menarik pajak pasar dan cukai. Oleh karena itu, sejak tahun 1830 Kaum Adat mulai bekerja sama dengan Kaum Padri melawan Belanda. Di daerah sekitar Padang benyak penghulu adat yang menyerang pos-pos Belanda. Keadaan menjadi berlarut-larut. Keuangan Belanda sudah makin parah, padahal keamanan di Minangkabau belum dapat ditegakkan. Kapal-kapal Aceh di perairan dekat Airbangis ikut membantu perjuangan gerakan Padri.
Sesudah berakhirnya Perang Diponegoro, Belanda memusatkan perhatiannya kembali ke daerah Minangkabau. Suatu pasukan besar didatangkan dari Jawa, termasuk barisan Sentot Alibasah Prawirodirjo yang pernah berjuang bersama Pangeran Diponegoro. Kemudian, Sentot ditangkap oleh Belanda dan pasukannya dibubarkan. Ia dituduh memihak Kaum Padri.
Pada tahun 1833, terjadi pertempuran besar, terutama di daerah Agam. Karena kuatnya operasi militer Belanda, banyak pemimpin Minangkabau yang menyerah. Belanda mulai memusatkan kekuatan untuk merebut Benteng Bonjol. Setahun kemudian, Belanda semakin dekat mengepung Benteng Bonjol. Tahun berikutnya, pasukan Belanda mulai menduduki daerah-daerah di sekitar Bonjol dan menutup jalan-jalan yang menuju ke sana. Sementara itu, sejumlah 12000 prajurit Padri tetap bertahan di Benteng Bonjol. Mereka siap menghadapi pertempuran yang menentukan. Benteng Bonjol mulai dikepung rapat dan dihujani oleh peluru-peluru meriam Belanda.
Pasukan Padri bertahan selama dua tahun hingga Agustus tahun 1837. Pada bulan Agustus tahun itu pasukan Belanda berhasil menerobos dinding benteng. Sesudah terjadi pertempuran sengit, akhirnya Benteng Bonjol jatuh. Tuanku Imam Bonjol bersedia memenuhi ajakan Belanda untuk berunding. Namun, ia dikhianati oleh Belanda. Ia dikepung, ditangkap dan di buang ke Cianjur lalu ke Ambon. Kemudian ia dipindahkan ke Minahasa hingga wafat di sana sebagai tawanan. Hingga kini makamnya yang berada di Pineleng dekat Manado dipelihara baik-baik oleh rakyat setempat.
Gejolak tersebut memicu perpecahan antara kaum Padri yang dipipmpin oleh Harimau nan Salapan (Delapan Pemimpin) dengan kaum Adat di bawah pimpinan Raja Pagaruyung, Sultan Muning Alamsyah. Kemudian, gejolak itu meluas dengan melibatkan Belanda. Dari sanalah, Imam Bonjol muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku nan Renceh sebagai Imam di daerah Bonjol. Selanjutnya, ia ditunjuk sebagai Panglima Perang Padri setelah Tuanku nan Renceh meninggal dunia.
Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat, pada tahun 1772 dan wafat dalam pengasingan, lalu dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa pada 6 November 1864. Ia termasuk salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda, Perang itu dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1837.
Imam Bonjol bukanlah seorang Minahasa. Ia berasal dari Sumatra Barat. Ia disebut juga Tuanku Imam Bonjol. Gelar ini adalah sebuah gelar yang diberikan kepada guru-guru agama di Sumatra. Nama asli Imam Bonjol adalah Peto Syarif ibnu Panditu Bayanuddin.
Imam Bonjol adalah pemimpin yang paling terkenal dalam gerakan dakwah di Sumatra, yang pada mulanya menentang perjudian, laga ayam, minuman keras dan tembakau, tetapi kemudian mengadakan penentangan terhadap penjajahan Belanda yang memiliki semboyan “Glod, Glory dan Gospel sehinggga mengakibatkan Perang Padri (pada tahun 1821-1837).
Mula-mula, Imam Bonjol belajar agama dari ayahnya, Buya Nudin. Kemudian, ia juga belajar agama dari beberapa orang ulama lainnya, seperti Tuanku Nan Renceh. Imam Bonjol, yang ketika itu bertindak sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa dan Tuanku Imam.
Tuanku Nan Renceh dari kamang adalah adalah salah satu pemimpin dari Harimau nan Salapan, yang menunjuknya sebagai imam (pemimpin) bagu kaum Padri di Bonjol. Akhirnya, imam bonjol lebih dikenal sebutan Tuanku Imam bonjol.
Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, pada 6 November 1973.
Perang Padri (1821-1837)
Pada awal abad ke-19 banyak orang Minangkabau yang pulang dari Mekah. Di negeri Arab sedang terjadi Wahabiah yang menghendaki terbinanya masyarakat Islam yang taat melaksanakan perintah agama dan taat pula menjauhi larangannya, seperti main judi dan meminum-minuman keras. Umat Islam di Minangkabau yang ingin mengadakan pembaharuan termasuk menghapuskan judi, sabung ayam dan minuman keras diseut Kaum Padri, sedangkan mereka yang tetap ingin mempertahankan cara hidup tradisional disebut Kaum Adat.
Dikalangan Kaum Padri terdapat golongan yang tidak menyukai kekerasan dalam mengembangkan ajarannya, misalnya Tuanku Nan Tuo. Akan tetapi, sebagian besar kaum Padri tidak segan-segan menempuh jalan kekerasan. Agak sulit untuk menentukan dengan pasti kapan Perang Padri mulai pecah. Perang itu merupakan puncak dari meningkatnya sengketa secara sedikit demi sedikit seperti api dalam sekam, antara Kaum Padri dan kaum Adat. Kemudian, berlanjut antara rakyat Minangkabau melawan Belanda.
Pertempuran pertama terjadi di Kota Lawas, kemudian menjalar ke daerah lain. Di Alahan Panjang. Kaum Padri di bawah pimpinan Datuk Bundaro bertempur melawan Kaum Adat yang dipimpin oleh Datuk Sati. Setelah Datuk Bundaro meninggal dunia, pimpinan dipegang oleh Tuanku Imam Bonjol yang berkedudukan di Bonjol. Bonjol menjadi pusat pertahanan Kaum Padri. Di sana terdapat benteng yang terletak pada suatu perbukitan. Pemimpin-pemimpin Kaum Padri yang terkenal adalah Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Tambusai dan Tuanku Nan Cerdik.
Sesudah orang Belanda berkuasa di Padang, terjadilah persekutuan dengan Kaum Adat untuk menghadapi Kaum Padri. Pada tahun 1821 pos Belanda di Semawang diserbu oleh pasukan Padri. Di sekitar Lintau mereka sering mengacaukan kedudukan Belanda. Sebaliknya, pasukan Belanda berusaha menangkap pemimpin-pemimpin Kaum Padri. Untuk menguasai medan perang, mereka mendirikan benteng di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capelen dan Fort de Kock di Bukit tinggi. Berkali-kali pasukan Belanda menyerang kedudukan pasukan Padri di Lintau, tetapi selalu gagal.
Di daerah sekitar Baso, pada tahun 1822 juga terjadi pertempuran antara pasukan Belanda melawan pasukan Tuanku Nan Renceh. Karena persenjataan pasukan Padri tidak sebanding dengan pasukan belanda, mereka terpaksa melakukan perang gerilya. Pertempuran berkobar juga di daerah Bonio dan pada tahun 1823 di daerah Agam. Banyak korban jatuh sebelum pasukan Belanda berhasil merebut pertahanan Kaum Padri. Meskipun dalam banyak pertempuran pasukan Belanda memperoleh kemenangan, mereka tidak berhasil menghancurkan tentara Padri. Oleh karena itu, pada tahun 1823, residen Belanda Da Puy mengajak Kaum Padri berunding. Pada tahun 1824 perundingan terjadi, tetapi tidak semua pemimpin Padri mendukung perundingan ini. Pemimpin Padri di kota Lawas tidak mau berdamai dan tetap melawan Belanda. Sesudah residen Belanda itu meninggal dunia pada tahun yang sama, permusuhan berkobar kmbali, antara lain di Suroaso.
Sementara itu, pada tahun 1825 di Jawa pecah Perang Diponegoro sehingga beban kolonial Belanda semakin berat. Oleh Karena itu, Belanda berusaha mengadakan gencatan senjata di Minangkabau. Pada tahun 1825 Belanda mengadakan persetujuan dengan Kaum Padri. Belanda mengakui beberapa sebagai wilayah Kaum Padri. Setelah pasukan Belanda banyak yang ditarik ke Jawa, Beland harus berhati-hati agar tidak diserang oleh Kaum Padri.
Ketika Perang Diponegoro hampir selesai, pesah lagi pertempuran di daerah Pariaman. Sementara itu, Kaum Adat mulai tidak senang karena Belanda bersikap menindas. Pemerintah Belanda menyuruh rakyat bekerja rodi membuat jalan, menarik pajak pasar dan cukai. Oleh karena itu, sejak tahun 1830 Kaum Adat mulai bekerja sama dengan Kaum Padri melawan Belanda. Di daerah sekitar Padang benyak penghulu adat yang menyerang pos-pos Belanda. Keadaan menjadi berlarut-larut. Keuangan Belanda sudah makin parah, padahal keamanan di Minangkabau belum dapat ditegakkan. Kapal-kapal Aceh di perairan dekat Airbangis ikut membantu perjuangan gerakan Padri.
Sesudah berakhirnya Perang Diponegoro, Belanda memusatkan perhatiannya kembali ke daerah Minangkabau. Suatu pasukan besar didatangkan dari Jawa, termasuk barisan Sentot Alibasah Prawirodirjo yang pernah berjuang bersama Pangeran Diponegoro. Kemudian, Sentot ditangkap oleh Belanda dan pasukannya dibubarkan. Ia dituduh memihak Kaum Padri.
Pada tahun 1833, terjadi pertempuran besar, terutama di daerah Agam. Karena kuatnya operasi militer Belanda, banyak pemimpin Minangkabau yang menyerah. Belanda mulai memusatkan kekuatan untuk merebut Benteng Bonjol. Setahun kemudian, Belanda semakin dekat mengepung Benteng Bonjol. Tahun berikutnya, pasukan Belanda mulai menduduki daerah-daerah di sekitar Bonjol dan menutup jalan-jalan yang menuju ke sana. Sementara itu, sejumlah 12000 prajurit Padri tetap bertahan di Benteng Bonjol. Mereka siap menghadapi pertempuran yang menentukan. Benteng Bonjol mulai dikepung rapat dan dihujani oleh peluru-peluru meriam Belanda.
Pasukan Padri bertahan selama dua tahun hingga Agustus tahun 1837. Pada bulan Agustus tahun itu pasukan Belanda berhasil menerobos dinding benteng. Sesudah terjadi pertempuran sengit, akhirnya Benteng Bonjol jatuh. Tuanku Imam Bonjol bersedia memenuhi ajakan Belanda untuk berunding. Namun, ia dikhianati oleh Belanda. Ia dikepung, ditangkap dan di buang ke Cianjur lalu ke Ambon. Kemudian ia dipindahkan ke Minahasa hingga wafat di sana sebagai tawanan. Hingga kini makamnya yang berada di Pineleng dekat Manado dipelihara baik-baik oleh rakyat setempat.
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Perang Padri : Perjuangan Tuanku Imam Bonjol"
Posting Komentar